Monday, February 11, 2013

Ketika Gerakan Perubahan Memanggil

Jeffrie Geovanie, Anggota Komisi I DPR RI
Keadaan harus diubah/ Perubahan di tanganmu – Franky Sahilatua.
“Perubahan di tanganmu,“ kata Franky Sahilatua dalam potongan syair lagu Mana Bisa Tahan dalam album Pancasila Rumah Kita yang dirilis setelah penciptanya menghadap Sang Pencipta.
Perjalanan demokratisasi di beberapa negara, perubahan politik pun tak selamanya menuju kondi si yang lebih baik. Banyak kasus, proses transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu menuju `sesuatu yang lain’ yang tidak pasti. `Sesuatu’ itu, menurut Guillermo O’Donnel dan Philippe C Schmitter dalam buku Transitions from Authoritarian Rule (1986), bisa menjadi pemulihan suatu demokrasi politik, atau restorasi bentuk baru­yang mungkin lebih buruk–dari rezim pemerintahan otoriter.
Apa yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998 bisa jadi merupakan bentuk perubahan yang menuju `sesuatu yang lain’, karena pada faktanya banyak kalangan berpandangan pada saat ini kondisi bangsa kita tidak lebih baik, atau malah lebih buruk jika dibandingkan dengan era sebelum 1998 (era rezim Soeharto).
Banyaknya sindiran yang mengubah adagium `reformasi’ menjadi `repotnasi’ bisa menjadi salah satu buktinya.
Dalam setiap perubahan, ada dua hal yang harus dijaga agar tetap berjalan seiring dan konsisten pada `jalan yang benar’ yakni antara proses (cara) dan hasil (tujuan) yang dicapai.
Penekanan ini penting karena banyak kalangan yang hanya tertumpu pada hasil (tujuan) sehingga membiarkan terjerembap ke dalam praktik kotor sebagaimana yang diajarkan Machiavelli, yakni tujuan menghalalkan cara.
Pengertian `jalan yang benar’ dalam perspektif politik ukurannya jelas, bahwa setiap perubahan harus berdiri di atas landasan hukum yang menjadi kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa, yakni konstitusi negara.
Nah, dari mana gerakan perubahan yang konstitusional itu harus kita mulai? Menurut saya, dimulai dari partai politik (parpol).

Mengapa demikian? Karena parpol merupakan elemen sangat sentral dalam demokrasi. Jika muara dari gerakan perubahan adalah terciptanya pemerintahan yang bersih, adil, dan sejahtera, hulunya adalah bagaimana menciptakan parpol yang konkuren (sama dan sebangun) dengan tujuan yang hendak dicapai.
Baik dalam teori demokrasi maupun praktik di Eropa dan Amerika Utara, parpol menjadi jembatan antara kepentingan rakyat dan institusi negara. Dengan kata lain, parpol adalah embrio dari bangunan bangsa dan negara. Jika embrionya baik, akan baiklah bangsa dan negara.
Karena itu tak sepenuhnya salah jika ada yang berpendapat berbagai korupsi berskala besar di ne geri ini, semua hulunya ada di parpol. Untuk menjernihkan air di muara, harus berawal dari hulunya.
Negara adalah muara, partai adalah hulu. Oleh karena itu, jika ingin perubahan (sistem) politik yang konstruktif, pemba ngunan parpol yang properubahan merupakan keniscayaan.
Yang menjadi masalah, dalam berbagai survei atau jajak pendapat, partai politik selalu berada pada posisi terendah dalam urutan kepercayaan publik. Artinya, belum ada parpol yang mampu menjadi jembatan aspirasi yang memadai bagi kepenting an rakyat.
Fakta-fakta yang cukup mem prihatinkan bagi parpol inilah yang memanggil saya untuk ikut terlibat secara aktif dalam sebuah parpol baru yang berkomitmen menggerakkan perubahan me nuju Indonesia yang lebih baik. Karena dalam gerakan ini dibutuhkan konsentrasi penuh, dedikasi yang total, ti dak boleh tidak saya harus meninggalkan jabatan sebagai anggota DPR RI dan keluar dari keanggotaan partai yang saya geluti saat ini, Partai Golkar. Keputusan ini saya ambil, tentu dengan penuh per timbangan dan pemikiran yang matang.
Partai baru yang saya maksudkan adalah Partai NasDem, yang berupaya tetap kon sisten memadukan antara proses (cara) dan hasil (tujuan).
Dalam setiap langkah gerakan perubahan ke arah yang lebih baik, kita tetap konsisten berpegang teguh pada konstitusi.
Untuk menjaga konsistensi itu, setidaknya ada tujuh hal yang akan kita kelola secara benar dalam membangun Par tai NasDem, yakni (1) Keuangan parpol yang kerap disebut-sebut sebagai akar korupsi di ne geri ini, (2) membangun pola hubungan antara parpol dan konstituen, (3) proses rekrutmen anggota parpol, (4) proses seleksi para kandi dat yang akan ditempatkan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, (5) pengembangan internal parpol terutama strategi pemenangan pemilu; (6) pengelolaan kon? ik internal; dan (7) peningkatan fungsi dan peranan par lemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Jika ketujuh hal itu bisa dikelola secara benar, harapan untuk mencapai tujuan terciptanya pemerintahan negara yang bersih, adil, dan sejahtera bukan mus tahil untuk dicapai.
Tulisan pernah dimuat di Media Indonesia, 29 Februari 2012 make cash

No comments:

Post a Comment